Saya setuju banget dengan apa yang
ditulis Rhoma Irama dalam lirik lagunya yang berbunyi “Masa muda, masa yang
berapi – api”. Buat saya masa muda adalah masa yang penuh gairah, masa
pencarian jati diri, masa pembentukan karakter. Saya juga berpendapat bahwa dia
yang masa mudanya melakukan hal – hal (hal baik tentunya) yang orang lain tidak
lakukan, maka di masa tuanya berhak mendapatkan hal – hal yang orang lain tidak
dapatkan.
Sepanjang masa muda saya berjalan,
tidak saya sangka banyak melewati hal yang dramatis nan mengharu biru. Di
samping mungkin ada pembaca yang sudah membaca empat part kisah gagal bunuh diri saya, sejatinya saya pun juga banyak
berjuang untuk menata kehidupan di masa depan. Sekali lagi upaya bunuh diri di
masa lalu terjadi karena saya memendam masalah sendiri dan enggan menceritakan
masalah saya kepada orang lain. So,
curhat itu penting!
Eh tapi jaman sekarang orang
curhat dikira baperan, dikira cemen. Jangan terlalu banyak negative thinking yah. Siapa tahu jiwanya memang terkoyak. Dan buat
pembaca yang memang sedang diajak curhat oleh siapapun, coba jadi pendengar
yang bisa menentramkan orang yang curhat. You
might save their life!
Anyway, mari kembali dengan topik
bahasan kali ini.
Tulisan kali ini akan saya bagikan
5 pengalaman ternekad saya di masa muda. Sebenarnya saya pengen banget
membagikan pengalaman ini lewat VLOG tapi hm.. wajah saya nggak camera face.
Salah satu motivasi besar
membagikan pengalaman saya di blog yaitu saya pengen banget 10 tahun lagi anak
– anak saya bisa membaca kisah ini kemudian menjadikannya suatu teladan bahwa
supaya hidup bermakna kita harus terus berjuang. Bila perlu berjuang lebih
banyak dan lebih giat daripada yang lain, sehingga lebih banyak makna hidup
yang kita peroleh.
Oh iya, saya mohon maaf banget
jika ada beberapa foto yang nggak bisa saya insert
di tulisan ini. Hape saya jadulnya kebangetan. Kalo buat motret, mau di
tempat gelap mau di tempat terang, hasilnya tetap gelap dan bersemut. Kalo ada
foto yang saya upload kok hasilnya
bagus, sudah pasti itu pinjam hape teman.
5 PENGALAMAN TERNEKAD ALA DIAN YUANITA. Pengalaman ini saya pilih berdasarkan
yang paling berkesan meski sebenarnya banyak pengalaman lain yang sama
berkesannya. Tapi kalau saya bagikan semua, apa bedanya yang spesial dengan
yang bukan spesial? Eaa.
Well,
Apa saja itu?
1.
Bersepeda 28 km pulang pergi demi ikut lomba nulis
Saya lupa tepatnya kapan, tapi
saat itu saya masih duduk di kelas II SMA. Dari guru Bahasa Indonesia, saya
mendapatkan kabar bahwa Harian Solopos
tengah mengadakan lomba menulis cerita pendek. Saya yang memang suka banget
nulis cerpen, akhirnya mencari peruntungan. Setelah menyisakan waktu 3 jam setiap hari selama seminggu untuk menulis,
cerpen saya jadi! Sependek ingatan saya, waktu itu hari libur nasional sehingga
sekolah libur. Meski demikian, Harian Solopos tetap buka untuk menerima naskah
(sejak di kelas I SMA saya sering ngirim artikel di harian ini jadi saya tahu
mengenai waktu kerja kantor).
Bergegaslah saya mancal ke kantor
Harian Solopos dengan sepeda jengki saya. Oh ya, kadangkala saya mengirim
artikel ke Harian Solopos dengan menggunakan jasa pos, kadang juga saya minta
tolong Mama untuk memasukkan artikel saya langsung di kantor harian. Tapi entah
darimana datangnya semangat yang membahana itu, saya bertekad memasukkan naskah
cerpen saya langsung ke kantor harian karena Mama sedang sibuk – sibuknya
kerja. Saya bersepeda dari rumah yang lokasinya di Sawit, Boyolali menuju
kantor Harian Solopos yang kira – kira 14 km sekali tempuh. Padahal siang itu panasnya
teriiiiiiiik masya allaah… Dan topografi jalan naik turun begitu dahsyat.
Satu mimpi yang saya jaga saat itu
adalah saya ingin menemukan nama saya pada sampul buku yang berjajar di rak toko
buku Gramedia. Pengalaman mengikuti lomba cerpen bukan baru sekali dua kali,
namun sudah cukup sering. Banyak yang gagal, tapi saya masih belum surut
semangat.
Singkat cerita sepulang dari kantor
Harian Solopos, panggul saya berasa rontok. Tak bisa dijelaskan dengan kata –
kata. Dua bulan kemudian, pengumuman lomba cerpen. Ya Allah, nggak menang lagi.
2.
Naik gunung pakai baju batik, rok, dan vantofel
Kejadian ini saya alami saat kuliah
semester IV dimana saya memperoleh kesempatan “Field Lecture in Temperate
Forest Around Mt. Fuji, Japan”. Ada dua prefecture yang kami kunjungi saat itu
yaitu di Tokyo dan Kyoto. Acara di Kyoto sebenarnya hanya sweet escape saya dan salah
satu peserta yang juga sahabat saya, Sekar Ayu Woro. Kami ke Kyoto setelah
rangkaian acara field lecture di
Mount Fuji sekitarnya berakhir.
Saat kami berkunjung ke Kyoto,
secara mendadak kami diajak oleh seorang rekan dari Kyoto University, Kazu
namanya, mendaki Gunung Daimonji. Sebenarnya
saya pribadi sangat keberatan jika harus menerima tawarannya karena kostum saya
sungguh seperti orang mau njagong manten.
Nggak pernah ada rencana buat ke gunung, karena saya dan Sekar memang hanya
ingin jalan – jalan mengelilingi kampus Kyoto University. Tapi Kazu begitu
bersemangat dan pengen kami naik gunung itu. Katanya “Setiap tahun kami
mengadakan festival roh di Daimonji. Kalian harus kesana! Pemandangannya bagus
banget!”
Ya sudah… setelah bertukar pikiran
dengan sengit, pada akhirnya kami menurut saja. Dan yaaa we made it! Kami berhasil menaklukkan Daimonji dan melihat
pemandangan Kyoto dari atas gunung. Boleh saya bilang, Daimonji ini seperti
bukit karena waktu tempuh kami dari kaki hingga ke puncak hanya 2 jam. Tapi memang
kelerangannya begitu tajam dan pohon – pohon sangat rimbun. Beberapa kali kami
temui rusa di sepanjang pendakian.
Nih dress code saya pas di Kyoto University. Bisa di zoom in bagian sepatu vantofel warna putih. |
Wajah nggak kondusif pas di puncak Daimonji. Sayang banget nggak foto full body. |
Selepas dari Daimonji menuju penginapan, saya sampaikan ke Sekar “Kar, sepatuku jebol.” Sekar hanya cekikikan sambil melihat jari manis kaki saya yang menyembul dari balik sepatu vantofel. Alhamdulillah, untung nggak ada cidera sama sekali.
3.
Sering tidur di stasiun dan bandara
Semasa kuliah menginjak semester IV, saya lumayan sering nih tidur di stasiun dan bandara. Bukan karena iseng,
tapi memang karena keadaan. Ada beberapa kasus yang pengen saya bagi ke pembaca
:
Kasus
I : Tidur di Bandara Soetta
Saat itu saya terbang dari Tokyo,
Jepang ke Jakarta. Tiba di Jakarta pukul 8 malam WIB. Dari Jakarta saya harus
terbang lagi ke Jogja, namun menunggu jadwal penerbangan keesokan harinya di
pukul 6 pagi. Bisa dipikirkan, apa yang harus saya lakukan untuk menunggu
penerbangan di pagi hari? No choice
selain menunggu dan tidur di bandara. Kalo mau numpang ke tempat keluarga pun
malah nggak efektif.
Akhirnya saya tidur bersama
beberapa troli berisi koper besar dan seabrek oleh – oleh. Seingat saya, saat itu
saya tiba di Soetta terminal 2 (terminal 3 masih dalam pembangunan). Nggak ada
perasaan was – was bakal dirampok, diculik, atau tindak kriminal lainnya. Saya
pasrah. Sebelum tidur saya bergumam “Ya Allah, Dian mau tidur. Dian ngantuk dan
capek banget. Dian pasrah. Lindungi Dian, Ya Allah.”
Saya pun tertidur di kursi besi
dengan lelap padahal posisinya duduk. Nggak lama kemudian saya terbangun,
menengok jam tangan saya ternyata sudah menunjukkan pukul 4 pagi. Seorang
perempuan paruh baya tersenyum ke arah saya dan berujar “Capek banget ya mbak?
Habis darimana kok tidurnya pules banget.”
Saya cuma senyum – senyum geli
meresponnya.
Sebelum check in saya beberapa kali mengecek bawaan saya. Serasa ada yang
hilang suatu hal. Tapi saya bener – bener nggak ingat apa itu. Sesampai saya di
Jogja, saya menyadari sesuatu. Oleh – oleh saya berupa seplastik kit kat green
tea lenyap. Hanya itu saja. Alhamdulillah untung bukan laptop, dompet, paspor,
atau barang berharga lainnya. Tapi kit kat green tea berharga juga sih.
Kasus
II : Tidur di Bandara Incheon
Saat itu saya selesai mengikuti
pertukaran pelajar di Kangwon National University (KNU), Korea. Kampus KNU
berlokasi di Kangwon yang berbatasan dengan Pyeongyang, Korea Utara. Penerbangan
kepulangan saya menuju Jakarta pada Hari Jumat pukul 11 pagi waktu Korea
Selatan.
Ketentuan dari Bandara Incheon
untuk penumpang yang melakukan penerbangan internasional wajib check in maksimal 3 jam sebelum
keberangkatan which is berarti saya
harus check in maksimal pukul 8 pagi.
Jarak dari Kangwon menuju Incheon sangatlah jauh, waktu tempuhnya 3 jam dengan
kereta. Sedangkan kereta hanya beroperasi mulai pukul 6 pagi sampai 11 malam
saja. Saya harus naik kereta karena panitia tidak menyediakan transportasi
untuk mengantar ke bandara.
Saya putuskan untuk berangkat dari
Kangwon pada Hari Kamis pukul 7 malam. Tiba di Bandara Incheon sekitar pukul 11
malam. Setelah berkeliling di dalam bandara, saya menemukan kursi kayu panjang
di seberang toilet. Karena lupa belum shalat isya di kereta, saya pun shalat di
samping kursi panjang tersebut, nggak peduli dengan seliweran pengunjung. Saya
sudah pasrah karena nggak menemukan masjid di Bandara Incheon wkwkwk.
Sebenarnya ada, tapi karena saking luasnya bandara, dan saya juga sudah
kelelahan, jadi saya pun memilih shalat di tempat itu.
Rasa kantuk yang semakin mendera
mengantarkan saya untuk tepar di kursi kayu.
Sukses. Alhamdulillah, saya nggak
diusir. Pukul 6 pagi saya terbangun dan cukup terkejut karena saya tidur dengan
memakai mukenah. Dengan sigap saya membersihkan diri, shalat subuh masih di
tempat yang sama, dan mencari sarapan sebelum check in. Sebelumnya saya re-check
barang bawaan, Alhamdulillah nggak ada yang hilang sama sekali!
Kasus
III : Tidur di Stasiun Jatinegara
Baru terjadi pertengahan tahun
lalu tepatnya di bulan Ramadhan. Saya ada kegiatan di Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan pada pagi hari pukul 8 sampai pukul 12 siang. Oleh kantor,
saya sudah dipesankan tiket kepulangan dengan kereta api pada pukul 8 malam.
Karena beberapa pertimbangan, saya
pun meninggalkan kantor kementerian sekitar pukul 12.30. Memulai perjalanan ke
Stasiun Jatinegara dengan berpindah dari KRL satu ke KRL lainnya. Kepala saya
sudah mleyang. Badan seperti ngambang. Tapi saya menguatkan
iman untuk tetap berpuasa. Eaa.
Saya tiba di Stasiun Jatinegara
sekitar pukul 14.00. Karena dehidrasi berlebih, saya pun tepar di kursi besi.
Tidur pulas menanti buka puasa dan jadwal kereta. Sama seperti kasus – kasus
sebelumnya, saya pasrah. Saya pasrah dengan ransel saya yang membawa banyak
barang berharga. Iya sih ini stasiun, lebih memungkinkan untuk terjadi
tindak kriminal. Tapi ya saya pasrah aja gitu hehehe.
Alhamdulillah, sampai saya bangun
dan kembali ke Jogja saya dan barang bawaan saya aman semuanya. Yang penting
niat saya baik dan doa saya kenceng.
Sebenarnya cukup banyak cerita
pengalaman tidur di bandara dan stasiun. Tapi sekali lagi, kalau saya bagikan
semuanya, apa bedanya yang spesial dan bukan spesial? So just be special for me. Eaaa.
4.
Mandi di parkir basement
Ini juga gokil banget sih.
Kejadiannya akhir tahun lalu, saya terpilih sebagai founder komunitas di temu komunitas se-Indonesia yang dilangsungkan
di Jakarta. Acaranya pagi pukul 8, sehingga sebelumnya saya menginap di stasiun
karena pertimbangan tertentu.
Saya tiba di lokasi acara pukul 7
pagi. Sebelum berangkat dari stasiun sebenarnya pengen banget mandi dulu, tapi
khawatir malah kesiangan saya pun menangguhkannya. Di lokasi acara, saya
menanyakan lokasi kamar mandi pada satpam.
“Wah belum buka, neng. Ada juga
nanti jam lapan (delapan). Kalo mau neng ke parkir
basement, disitu ada kamar mandi. Jam
segini belum ada yang parkir kok neng.”
Pikiran saya melayang
“Basement…………?”
Tapi karena badan saya baunya udah
nggak enak banget, alhasil saya memberanikan diri ke basement untuk mandi. Iya, mandi di basement.
Perjalanan spiritual dimulai.
Layaknya parkir basement pada umumnya
: gelap, pengap, sepi, dan rada horror. Di
ujung basement saya menemukan tulisan toilet.
Yes, bener. Toilet. Ukurannya 2X2.
Lumayan bersih. Jadilah saya mandi disitu. Nggak peduli dengan marabahaya yang
mungkin mengancam. Saya pasrah. Namun tentunya saya juga sudah atur strategi
kalo sesuatu hal buruk menimpa.
Salah satunya dengan membawa
detergen bubuk ukuran kecil yang saya masukkan ke botol aqua kecil. Jika ada
oknum yang ingin mencelakai saya maka tinggal dibuka botol aqua itu, dan
semburkan ke matanya hehe. Tapi kalo oknumnya berupa yang tidak kasat mata,
saya pasrah aja.
Mandi selesai. Alhamdulillah segar
bugar. Sampai di halaman gedung, bertemu dengan satpam yang tadi saya tanyai.
“Lho neng? Tadi mandi?” kata si
satpam. Saya jawab “Iya, Pak.”
Satpam hanya geleng – geleng kepala
sambil setengah nggak percaya.
5.
Make up-in 2 sahabat wisuda
November tahun lalu, 2 sahabat
saya wisuda. Mereka pengen saya yang jadi MUA. Kebetulan dikit – dikit saya
bisa make up dan punya perabotan make up yang lumayan lengkap meski nggak
bagus amat. Saya terbiasa make up
karena tuntutan profesi sebagai MC.
Acara make up sudah saya mulai pukul 3.30 pagi karena banyak
rangkaiannya. Dan lagi saya harus make up
– in juga hijab do untuk 2 orang
sekaligus. Dengan penuh kenekadan, kecermatan dan kecepatan tinggi saya memoles
wajah mereka sampai akhirnya finished!
Nggak sampai disitu, selepas make up-in mereka berdua saya harus
bersiap untuk nge-MC wisuda. Kebetulan saat itu, saat teman – teman seangkatan
sudah diwisuda, saya masih belum lulus dan masih terkontrak jadi MC wisuda.
Letih jelas, tapi bahagianya nggak karuan karena saya bisa ambil bagian dari
prosesi wisuda sahabat saya.
![]() |
Foto sama Fifi selepas saya nge-MC wisuda |
![]() |
Mereka yang saya make up-in pake kebaya hitam dan kebaya orange |
Alright! itu tadi 5 pengalaman
ternekad saya. Barangkali biasa aja buat para pembaca, mohon maaf ^^ Tapi
semoga ada hikmah yang bisa diambil dari tulisan saya ini. Jika boleh kita
berbagi, pembaca bisa share
pengalaman ternekad kalian di kolom komentar yah.
Thank
you, keep being young and mature!
Jakarta,
19 Mei 2017
Ya ampun dhian ya ampun kasus II mu mirip aku banget wkwkwwkwkwk jadi inget pengalamanku kedinginan di Stasiun Seoul. Bedanya kamu bermalam di incheon aku di stasiun Seoul. Penerbangan hampir sama jam e sama kamu, masih mending kamu dapat angkutan ke bandara langsung. Aku dari Jeonju jam 10 malem g dpt kendaraan kecuali KTX dan cuma sampe stasiun Seoul. Masih mending kamu g diusir, akunya keluar gara2 ada orang diusir. Kedinginan diluar stasiun yang suhunya -5 untung ada sevel menyelamatkan tp ttp aja dr jam 11-3 tu lama banget. Sendirian ketemu bapak2 mau ngerubutin akhirnya aku keluar lagi. Habis itu masih kedinginan nunggu bus bandara mpe hampir jam 5. Takut plus bertahan dari hipotermia sampai sampai kudu joget2 ga jelas di halte gara2 takut mati kedinginan wkwkwk. Ternyata eh ternyata dhiannnn jadi pengin tau crita mana lagi yang samaan dari kita
BalasHapus