Ruas jalan yang sunyi untuk perempuan
yang hatinya dihinggapi sepi.
Rupa titik – titik air menjadi buih karena hujan yang tak
berkesudahan. Langit abu gelap menggumpal pertanda hujan akan turun lebih lama.
Terlebih matahari muncul temaram semenjak pagi.
Perempuan itu telah menunggu beberapa jam di gubuk tepi
sawah. Menunggu adalah bagian besar dari hidupnya. Maka barang tentu sabar
sudah menjadi nyawa perjalanannya.
Perempuan yang namanya tertulis sebagai surah keempat dalam
Al Qur’an, Annisa, itu meyakini bahwa menunggu adalah bentuk perjuangan.
Berpacu dengan waktu, bermain dengan logika, beradu dengan keyakinan adalah
rumus yang tak bisa dijabarkan dalam sebuah penantian. Sementara, setiap
penantian merupakan hal yang berharga. Sebab jika tidak berharga, mengapa harus
ditunggu? Dinantikan?
“Hoiii! Mau ikut denganku?”
Jemari Annisa berhitung sebelum menjawab tawaran lelaki bermotor
bebek yang tengah berhenti di hadapannya.
Tawaran ketiga belas, pikirnya.
“Tidak! Terima kasih.”
Lelaki itu lantas kembali melesat. Meninggalkan ruas jalan
yang kelelahan menanggung cerita.
Senja mendekap. Keyakinan masih saja
utuh.
“Aku sudah tiga kali melintasi jalan ini dan kau masih saja
disini. Apa atau siapa yang kau tunggu?”
Annisa menghela nafas panjang,
menguapkan aroma petrichor yang berhamburan dari dalam tanah.
“Seorang yang berharga.”
“Seberapa berharganya?”
“Lebih dari isi dunia.”
“Mengapa demikian?”
“Dia akan sanggup mengantarku pada
perjalananku berikutnya.”
“Mengapa dia?”
“Karena aku meyakininya. Itu saja.”
“Apakah dia akan datang dalam
penantianmu?”
“Aku tidak tahu.”
“Lantas sampai kapan kau menunggu?”
Annisa terdiam. Memandangi wajah
wanita berwajah teduh di hadapannya yang kuyup oleh hujan.
“Sampai aku menemukan ketidakyakinan
dalam keyakinanku.”
Jakarta, 5 Desember 2017
---
bersambung Perempuan
Penunggu dan Ksatria Peneduh (2/2)
Sebab tanganku bekerja lebih hebat
dari bibirku.
Komentar
Posting Komentar