“Dian, apa kamu punya
gangguan jiwa?”
Banyak yang menanyakan hal di atas
semenjak saya post tulisan di blog kemarin,
baik ditanyakan secara langsung maupun tidak langsung. Saya lantas dengan santai
menjawab “Nanti baca part selanjutnya
yaa! Heheheheuu” yang kemudian dibalas dengan beberapa runtukan dan muka masam
yang kurang lebih menjelaskan kenapa
nggak sekarang aja ceritanya.
Sebelum mulai cerita ke bagian II saya mengucapkan banyak terimakasih kepada para pihak yang sudah membaca kemudian membagikan link blog saya kepada yang lain untuk dibaca. Ketika saya melihat statistik kunjungan blog saya, sangat fantastis angkanya. Alhamdulillaah. Saya berdoa semoga banyak hikmah yang bisa diambil dari sekilas cerita perjalanan hidup saya ini.
Sebelum mulai cerita ke bagian II saya mengucapkan banyak terimakasih kepada para pihak yang sudah membaca kemudian membagikan link blog saya kepada yang lain untuk dibaca. Ketika saya melihat statistik kunjungan blog saya, sangat fantastis angkanya. Alhamdulillaah. Saya berdoa semoga banyak hikmah yang bisa diambil dari sekilas cerita perjalanan hidup saya ini.
Di bagian I saya menceritakan
beberapa upaya yang saya lakukan untuk mengakhiri hidup, namun kandas semuanya.
Kemudian pada suatu masa saya baru tersadar bahwa saya telah tersesat jauh,
jauh sekali.
Upaya saya untuk mengakhiri hidup, karena
pemikiran konyol saya ‘mama akan lebih ringan hidupnya jika hanya mengurusi
satu anak saja’, membawa saya pada depresi selama setahun lebih di tahun 2012 –
2013. Tapi ada yang unik. Jika mungkin di luar sana banyak orang depresi dan ‘kedepresiannya’
dimunculkan dalam keseharian mereka, saya tidak demikian. Depresi saya muncul
ketika saya dalam keadaan sendiri.
Di waktu itu, saya dinilai orang
cukup ceria meski terkadang suka tiba – tiba murung nggak jelas. Saya juga
memiliki banyak teman, bahkan sahabat yang bener – bener dekat. Namun beberapa
hal yang musti saya sampaikan ke pembaca :
- Saya ceria namun tidak bahagia. Pembaca pernah mengalaminya?
- Suka tiba – tiba murung karena menganggap saya hanya satu – satunya orang yang punya masalah di dunia ini.
- Banyak teman dan sahabat tapi tidak pernah nyaman untuk menceritakan hal – hal privasi ke mereka. Mengapa? Saya belum bisa memberikan kepercayaan, khawatir mereka tidak bisa menjaga privasi. Ditambah lagi saya saat itu masihlah mahasiswa baru yang mengalami berbagai hal “baru”.
- Meskipun saya depresi saat sendirian, saya merasa maksimal di bidang akademik. IPK saya semester I - II saat itu adalah 3,78.
- Selain bidang akademik, saya juga merasa maksimal dalam berorgansisasi. Bahkan saat itu beberapa kali ikut kompetisi dan puji syukur menang.
So, sebenarnya saya juga
merasa aneh. Ketika benar – benar sendiri, depresi saya seperti muncul. Seolah
ada banyak pikiran buruk menyergap otak saya. Jika sudah demikian, saya uring –
uringan sendiri, nangis sendiri, dan akhirnya timbul keinginan bunuh diri lagi.
Maka saya pun akan beli
Myla*ta cair atau panadol atau yang lain dan mulai ‘nge-drugs’ (seperti yang
saya ceritakan di bagian I). Mulai dehidrasi berat lagi. Dan ujungnya upaya
saya kandas lagi.
Menemukan Titik Balik
Di tahun 2013, tepatnya
di semester III saya mengalami kesakitan yang hebat di pinggang saya. Saya juga
mengalami mual, muntah, pusing, meriang, sesak nafas, nggak karuan pokoknya.
Dan kejadian itu terjadi saat saya tengah mengerjakan Ujian Tengah Semester
(UTS). Sangat beruntung saat itu adalah mata kuliah terakhir dari 2 minggu saya
menjalankan UTS.
Di malam harinya saya
benar – benar tidak kuasa menahan sakit. Lantas entah apa yang menggerakkan saya waktu
itu, saya kemudian berjalan sempoyongan ke kamar sahabat saya, Sekar Ayu Woro
Yunita dan mengeluhkan gejala saya. Sekar kemudian menghubungi sahabat saya
yang lain. Jadilah malam itu saya dilarikan ke rumah sakit, ke Instalasi Gawat Darurat (IGD).
Saya benar – benar tidak
berdaya saat itu. Badan rasanya kaku. Dingin. Mata nanar. Mulut seperti
asaaaaam sekali rasanya. Seperti punya firasat mungkin ini saatnya ‘pulang’.
Pagi hari saat saya
membuka mata, saya kaget. Ada Mama di samping saya!
Setengah mati rasanya
ingin lari dari bangsal saya terbaring.
Kenapa ada mama disini?! Pikir saya.
Raut muka Mama benar –
benar sedih. Disampingnya ada tante yang juga turut membesarkan saya sejak
kecil, nangis sesenggukan.
Oh Tuhaaaaaan. Hancur
hati saya saat itu. Hancur!
Saya yang tengah memakai
masker oksigen rasanya ingin bilang ke mama saat itu juga, ‘Ma, maafkan Dian.
Maafkan Dian.’ Namun kelu lidah saya. Hanya butiran air mata yang kemudian
terkumpul di pelupuk mata.
Mama kemudian memijit
tangan saya ‘Nggak papa, mbak. Bentar
lagi kamu pulang.’
Makin menangislah saya. Saya
sangat terpukul mama mengatakan hal itu.
Siangnya saya melakukan
berbagai cek laboraturium. Hasilnya saat itu ada batu di ginjal saya, juga
lambung yang luka parah. Selama hampir dua minggu saya dirawat dan saya
mendapatkan tamparan begitu besar.
Pertama, melihat Mama yang
begitu tegarnya menguatkan saya. Mama sungguh tidak tahu bahwa ulah saya
sendirilah yang menyebabkan saya sakit. Ditambah saat itu kondisi perekonomian
sedang kurang bagus saya kemudian mikir darimana
Mama mendapatkan biaya pengobatan yang sungguh tidaklah murah?
Kedua, melihat sahabat –
sahabat saya yang dengan begitu baiknya merawat saya. Meluangkan waktu mereka
setiap sehari dua hari untuk mampir ke bangsal. Kemudian dengan gaya khas
mereka mulai bercerita ngalor ngidul dan alhasil membuat saya terbahak – bahak,
melupakan rasa sakit yang saya dera.
Ketiga, banyaknya teman –
teman kampus yang menjenguk saya. Mereka nyatanya begitu mengasihi saya. Dulu
saya berpikir, teman hanya akan ‘datang’ jika ada ‘maunya’. Salah! Pemikiran
itu salah besar. Saya melihat raut – raut ketulusan di wajah mereka.
Selama hampir dua minggu
terbaring itulah saya merasakan penyesalan yang luar biasa. Atas segala upaya
konyol untuk mengakhiri hidup yang malah menumbuhkan penyakit di tubuh saya.
Atas segala upaya konyol yang justru membuat Mama semakin terbebani, sangat
jauh dari cita – cita saya untuk membuat Mama bahagia.
Terimakasih Tuhan,
tamparanMu begitu besar.
(bersambung)
Yogyakarta,
27 November 2016
ditunggu cerita selanjutnya dian! :')
BalasHapusWaaah! Makasih Agnes sudah baca! :) Segera menulis part berikutnyaa :)
Hapus