Kita
tidak bisa memilih dilahirkan seperti apa ke dunia. Jika kita bisa memilih,
tentu kita akan pilih hal – hal yang terbaik. Wajah yang rupawan, tubuh yang
sehat, otak yang cerdas, harta berlimpah, keluarga yang harmonis.
Tapi
karena kita tidak bisa memilih, maka kita dilahirkan sesuai ketetapanNya. Yang
dengannya Tuhan ingin kita belajar bersyukur dan berjuang tanpa kecuali.
Salah
satu hal yang tidak saya miliki adalah keluarga yang utuh dan harmonis. Tidak
terhitung berapa kali saya marah dan menuntut pada Tuhan, “Tuhan, kenapa harus saya yang dibesarkan di keluarga seperti ini?
Kenapa Papa dan Mama memilih berpisah?” Namun yang saya dapatkan di setiap
kemarahan itu hanya keterpurukan yang semakin menjadi – jadi.
Terima!
Bertahun
– tahun melewati masalah ini akhirnya saya paham bahwa penerimaan adalah
kunci. Kurang lebih 3 tahun setelah melakukan percobaan bunuh diri
berulang kali, saya mencoba untuk sungguh – sungguh mengevaluasi hidup.
Beberapa kali saya datang ke psikolog untuk berkonsultasi namun ada rasa ketidakpuasan.
Sehingga saya mencoba untuk melakukan perenungan dengan cara saya sendiri.
Saya
memulainya dengan menanyakan kabar pada diri saya sendiri. Setiap bangun pagi (usai
shalat Subuh) saya mulai dengan bertanya pada diri sendiri (mbatin dalam Bahasa Jawa). Upaya ini selanjutnya saya sebut "Self Healing". Begini kira –
kira :
“Pagi, Dian. Apa kabar?”
Pertama
kali saya melakukan hal ini, air mata saya tumpah tidak tertahankan. Ada rasa
sesak yang menyeruak di dada. Saya menangis sesenggukan. Bahwa ternyata selama
lebih dari 20 tahun saya hidup, saya tidak pernah menanyakan kabar diri saya
sendiri. Bahwa mungkin jiwa saya butuh untuk dicintai, hal yang selama itu
tidak saya pedulikan. Bahwa mungkin ketika saya melakukan banyak hal, jiwa saya
butuh istirahat meski raga selalu prima.
Tepat
seusai saya menanyakan kabar, banyak bayangan (juga kenangan) melintas di kepala.
Mulai dari masa kecil saya yang suka main panas – panasan di sawah, raut wajah
riang saya tiap menang lomba 17 Agustus, raut wajah lelah tiap bersepeda saat
bersekolah, raut wajah kesal tiap nilai ulangan jeblok, raut wajah bahagia saat
diterima di UGM, dan masih banyak lagi. Kenangan itu datang tumplek blek.
Kemudian
saya lanjut lagi dengan pertanyaan lainnya,
“Kamu bahagia nggak dengan hidup
kamu, Dian?”
Saya
semakin menangis sesenggukan. Tiba – tiba terlintas wajah Mama, adik, para
sahabat,. Saya tidak bisa menceritakan dengan detail peristiwa itu, yang jelas
rasanya begitu dahsyat.
Di
tengah menangis, saya seolah spontan berujar “Maafin aku ya, Dian…”
Kemudian
lambat laun tangisan saya reda. Perlahan saya bisa mengontrol diri. Dan
ploooong…. rasanya seperti udara dingin yang dihembuskan dalam rongga dada.
Hari
– hari berikutnya saya melakukan hal yang sama, menanyakan kabar diri saya tiap
pagi. Sampai pada suatu hari saya merenungi perpisahan Papa dan Mama. Logika
saya bekerja.
Hal
yang tidak pernah saya lakukan pasca perceraian mereka adalah menerima dan memaafkan.
Maka sejak mulai mengevaluasi diri, saya membenamkan suatu pernyataan dalam
diri kurang lebih begini :
“Papa Mama, terimakasih telah mengajarkan
Dian arti perjuangan hidup. Dian jadi belajar banyak hal. Jika Papa dan Mama
nggak berpisah, mungkin Dian tidak sekuat dan setegar ini. Dian terima hal yang
tidak pernah setiap anak mimpikan. Dian memaafkan Papa yang memilih pergi,
mungkin dengan hal itu Papa lebih bahagia maka Dian saat ini juga akan ikut
bahagia. Dian memaafkan Mama yang menjadi lebih temperamental pasca bercerai,
dengan hal itu Dian belajar ikhlas dan sabar. Terimakasih Pa, Ma.”
Pernyataan
tersebut saya benamkan setiap pagi dan setiap menjelang tidur. Pertama kali rasanya
sungguh berat namun berikutnya setelah berbulan – bulan saya mengupayakan, hati
saya menjadi ringan sekali. Saya menemukan sebenar – benarnya kebahagiaan. Hari
– hari saya menjadi lebih ceria. Saya menjadi pribadi yang jauh lebih matang
dari sebelumnya.
Banyak
rekan yang turut menyadari perubahan dalam diri saya. Tidak jarang saya dengar
dari mereka, “Kamu kok lebih keliatan
seger ya sekarang?”. Bahkan di suatu kesempatan saya beberapa kali mendapat
pertanyaan dari adik tingkat 2 tahun di bawah saya di kampus yang kurang lebih
menanyakan “Gimana sih mbak biar riang
terus? Beneran riang gitu lho kayak mbak Dian.”
Saya
nggak bisa menjelaskan hal apa yang sudah saya lewati ke mereka, maka sesekali
saya timpali dengan guyonan saja.
Konsisten dan Persisten
Setelah menemukan titik lenting, saya mulai berpikir “Kalo dulu saya yang selabil itu aja bisa melakukan banyak hal, maka
hal berfaedah apa yang bisa saya lakukan dengan jiwa saya lebih bahagia ini?”
Pada
bulan April 2015, terlintas obrolan ringan dengan sahabat saya, Nofendianto
Rahman dan Abdul Jalil tentang cita – cita membangun komunitas untuk anak dari
keluarga bercerai. Saat itu sekitar bulan Februari saya iseng tanya ke mereka “Ada
nggak sih komunitas buat anak broken home?
Semakin hari semakin banyak anak yang jadi korban broken home ya.”
Saya
bersama mereka kemudian mewujudkan mimpi itu. Dan kini komunitas kami telah
memiliki lebih dari 100 anggota tersebar di seluruh Indonesia. Komunitas
Inspirasi HAMUR, namanya.
Upaya
yang sudah saya lakukan untuk menjadi pribadi yang lebih matang perlu dijaga
konsistensi dan persistensinya. Bersyukur dengan mengembangkan HAMUR (http://hamurmenginspirasi.blogspot.co.id/) saya mampu
menjaga kedua hal itu hingga detik saya menulis part ini, dan semoga terus terjaga sampai akhir hayat.
Oh
ya, zaman sekarang : no pict, hoax ya?
Berikut saya post foto saya saat jiwanya masih terpuruk (2012) dan foto saat
saya sudah menerima + memaafkan hehe (2016).
![]() |
Mau latihan teater, tahun 2012 |
![]() |
Program exchange di Korea Selatan (maaf fotonya sensasional banget ya sama Oppa Korea), tahun 2016 |
Menurut pembaca, ada nggak perbedaan pada diri saya pada kedua foto itu? :)
Beda orang, beda masalah, beda cara menyikapinya. Empat part tentang sekelumit kisah saya, sudah saya tulis dengan penuh kesadaran dan kesungguhan. Jika mungkin saat itu saya meninggal dalam keadaan bunuh diri, maka saya sungguh akan sangat menyesal di alam baka karena tak menikmati perjuangan hidup yang ternyata sangat mengagumkan.
Saya
ucapkan terimakasih banyak untuk semua orang yang sudah mendukung saya sampai
sejauh ini. I am definitely nothing
without you. Bagi teman – teman yang suka dirundungi rasa ‘sesak akan
kehidupan dunia’, ada baiknya mencoba self
healing seperti saya disamping
juga menggiatkan diri dengan ibadah.
Terimakasih
untuk semua pembaca yang mengikuti part I hingga part IV ini. Terimakasih banyak.
Semoga keberkahan senantiasa mengiringi hidup kita semua :)
Jakarta, 11 Mei 2017.
Pokok lek bobote nambah, aman, hehehe...
BalasHapus