Menjadi founder suatu komunitas sejatinya tidak
menjadi salah satu impian dalam hidup saya. Saya sungguh sadar bahwa menjadi founder komunitas ibarat membangun
rumah dimana kita sendirilah yang menjadi arsitek, tukang, sekaligus
penghuninya. Jika ingin rumah kokoh kuat dan tahan lama, maka fondasinya harus
bagus dan perawatannya harus rutin. Sama halnya dengan membangun komunitas:
tidak bisa asal bangun dan lambat laun mangkrak begitu saja.
Secara definisi komunitas
adalah kelompok sosial yang memiliki kesadaran bersama (senasib,
sepenanggungan, atau satu ketertarikan) dan saling berinteraksi. Di belahan
bumi ini tak terhitung jumlah komunitas yang berkembang. Setiap komunitas
pastilah memiliki visi, misi dan tujuan yang positif. Entah untuk mengembangkan
minat, mengasah bakat, memperluas jejaring dan lainnya.
Gejolak
Batin Membangun Komunitas untuk Anak Broken
Home
Pada Februari 2015,
mendadak terlintas dalam benak untuk membangun komunitas yang mewadahi anak –
anak broken home. Ide itu kemudian
saya bagikan kepada dua sahabat saya, Nofendianto Rahmaan dan Abdul Jalil.
Setelah ide bergulir, beberapa kali kami menggelar pertemuan untuk brainstorming, mendesain komunitas, dan
menggalang dukungan dari berbagai pihak.
Tiga bulan kemudian
komunitas resmi berdiri. Dengan saya menjadi
founder sekaligus ketua, bendahara
dan humas; Nofendianto (Fendi) sebagai co-founder merangkap sekretaris dan humas;
serta Abdul Jalil (Abil) sebagai co-founder merangkap humas. Sebuah struktur
yang masih sangat ramping karena masih dalam taraf inisiasi. Komunitas tersebut
kami beri nama HAMUR. Filosofinya sederhana: jika HAMUR dibaca secara terbalik
(read: dari belakang) maka akan didapati kata ‘rumah’. Bangunan rumah yang
dibalik, fondasi di atas dan atap di
bawah, maka akan tercerai berai apa yang ada di dalamnya.
Hari – hari setelah
komunitas HAMUR berdiri, saya pribadi selaku founder bukan tidak mungkin
menerima banyak caci dan ujaran benci. Banyak kata – kata tidak mengenakkan
yang disampaikan oleh banyak orang mulai dari teman hingga dosen.
“Ngapain sih anak
Fakultas Kehutanan bangun komunitas anak broken
home? Itu kan tugasnya anak psikologi?!”
“Komunitas anak broken home? Maksudnya buat anak – anak
yang nggak jelas gitu?”
“Itu pasti nanti bakal
jadi komunitas menye – menye!”
“Kamu udah mau lulus aja
pake repot – repot bikin komunitas.”
Semua sibuk mencerca tapi
lupa menggali keingintahuan. Alpa bertanya pada saya mengapa komunitas ini
harus berdiri. Mudah menjustifikasi padahal belum utuh berkontribusi.
Maka setelahnya, saya
menjadi terbiasa mendengar ujaran tidak mengenakkan itu. Perasaan pedih tak terhingga
coba saya lumat dalam – dalam. Karena HAMUR masih baru saja berdiri dan belum
berkarya apa – apa, maka saya tidak perlu repot – repot memberikan sanggahan.
Yang saya lakukan saat itu hanya menegarkan diri dan menguatkan langkah dengan
doa. Beruntung Fendi dan Abil adalah sosok sahabat yang kuat sehingga saya juga
termotivasi untuk menjadi kuat berkali – kali lipat. Fendi merupakan anak yang
besar dari keluarga broken home sejak
masih bayi, sedangkan Abil sebenarnya bukan berasal dari keluarga bercerai
namun latar belakang akademiknya di Fakultas Psikologi sangat mumpuni untuk merumuskan
dan merawat HAMUR.
Waktu berjalan, satu
persatu orang yang men-declare
berasal dari keluarga bercerai mulai bertanya pada kami tentang komunitas
HAMUR. Ibarat rumah, kami buka pintu seluas – luasnya dan menyuguhkan
kehangatan bagi siapapun yang berkunjung bahkan berminat tinggal dalam waktu
lama. Kami sampaikan kepada mereka bahwa komunitas HAMUR didesain memiliki dua aktivitas
utama, yaitu:
· >>Training, terdiri dari:
o
Leadership
o
Public Speaking
o
Writing Skills
· >>Kelas Inspirasi, terdiri dari:
o
Inspirasi Berprestasi
o
Inspirasi Berwirausaha
o
Inspirasi Parenting
Beberapa orang tersebut
ada yang tertarik lantas bergabung hingga saat ini. Beberapa yang lainnya ada
yang masih ragu dan memilih mundur. Kami sadari hal itu sebagai bagian dalam
sebuah proses.
Pada awal pendirian, saya
dan para co-founder sepakat bahwa target
wilayah komunitas hanyalah tingkat Daerah Istimewa Yogyakarta dengan target
usia 17 – 26 tahun. Tidak disangka anugerah Tuhan membersamai kami. Banyak orang
dari luar DIY yang tertarik untuk bergabung di HAMUR, sebutlah mereka berasal
dari Semarang, Bandung, dan Jakarta. Melihat peluang yang sebenarnya masih abu –
abu, kami bertiga pada akhirnya berani memperluas target wilayah menjadi
seluruh Indonesia.
Kami menyebut anak atau
orang yang besar di keluarga broken home dengan
istilah survivor. Ya, kami adalah
para pejuang yang tak nampak. Jika keluarga yang menjadi fondasi kehidupan saja
sudah tidak utuh, lantas apa yang bisa kami lakukan selain berjuang untuk bertahan
hidup?
Lambat laun HAMUR mulai
berkegiatan. Saya memaksimalkan jejaring yang saya miliki untuk menunjang
kegiatan HAMUR yang terdesain dalam training dan kelas inspirasi di atas.
Segala yang terjadi dalam
kehidupan merupakan satu kesatuan yang holistik. Siapa yang bisa menduga bahwa
hikmah saya aktif di beberapa UKM kampus membantu saya untuk mendatangkan
trainer tentang leadership? Siapa
sangka bahwa hikmah saya terpilih menjadi mahasiswa berprestasi membantu saya
untuk mendatangkan pembicara kelas inspirasi berprestasi? Siapa sangka bahwa
hikmah saya terpilih menjadi MC Wisuda UGM membantu saya mendatangkan trainer
tentang public speaking? Sungguh,
Tuhan Maha Mengetahui atas apa yang tidak kita ketahui.
Di balik gejolak batin
yang saya rasakan, ternyata Tuhan melimpahkan kami kemudahan yang luar biasa.
Tangan Tuhan bekerja lewat banyak perantara. Suatu hal yang sangat wajib disyukuri
namun tak boleh menjadikan diri takabbur.
Menguatkan
dan Menginspirasi Dalam Harmoni Kekeluargaan
Saat ini, setelah tiga
tahun berjalan, HAMUR menjadi ‘rumah’ bagi ratusan survivor broken home. HAMUR telah dan akan terus menjadi teman
bercerita yang pas tentang pahitnya kehidupan tanpa keluarga utuh. HAMUR telah dan
akan terus menjadi wadah pengembangan diri. HAMUR telah dan akan terus menjadi
keluarga yang solid meski tanpa ikatan darah.
Bagi survivor yang tergabung di HAMUR, membahas soal perselingkuhan,
bunuh diri, ekonomi keluarga tersendat dan polemik lain adalah hal yang sangat
wajar. Itulah mengapa HAMUR berdiri. Sepengalaman saya menjadi survivor sejak usia 8 tahun, saya tidak
pernah berani bercerita masalah keluarga pada siapapun sampai usia menginjak 20
tahun. Bayangkan, 12 tahun saya memendam rasa sakit hati, kecewa dan kekesalan itu
berkepanjangan. Khalayak masih tabu! Bahwa ketika seseorang bercerita tentang
masalah keluarga seolah dia menceritakan suatu aib.
Menurut saya, aib atau
tidaknya suatu hal bergantung pada sampai batasan mana Anda sebagai pencerita
mafhum dengan persoalan dan sampai sejauh mana Anda sebagai pendengar berpikiran
terbuka.
Sharing
is caring! Menumpahkan isi hati yang tak karuan adalah salah
satu jalan menyelamatkan diri sendiri. Banyak orang yang tidak bisa sharing karena takut dinilai membuka
aib. Akibatnya? Banyak orang depresi bahkan bunuh diri. Saya pun pernah
mengalami depresi dan melakukan upaya bunuh diri berulang kali.
Di HAMUR, ada suatu
kultur yang terbangun secara alami. Kami tidak pernah memberikan justifikasi saat
seseorang tengah sharing masalah
keluarga atau berdiskusi masalah lainnya. Segalanya kami gali mendalam, kami
tanyakan secara pelan dan terperinci, kemudian memberikan masukan – masukan yang
sungguh melegakan jika dibaca atau didengar. Saya juga tidak paham mengapa
kultur ini terbangun begitu apiknya.
Bagi kami, bercerita dan
mendengarkan cerita merupakan salah satu upaya self healing. Saat seorang bercerita, kelegaan tentu merasuk meski
mungkin masalah belum kunjung selesai. Saat seorang mendengarkan cerita, secara
tidak langsung dirinya terdorong untuk menjadi lebih kuat dan termotivasi untuk
bisa memberi masukan – masukan yang strategis bagi survivor lainnya. Hal ini seolah menjadi bonding yang kuat di HAMUR.
Jungkir
Balik Hati
Saya tidak sanggup
menceritakan secara runtut teratur tentang jungkir balik hati yang saya rasakan
selama membangun dan merawat komunitas HAMUR. Salah satunya, bagaimana tidak
berkecamuk jika tiba – tiba seseorang mengabari:
“Mbak Dian, Papaku
beneran selingkuh.”
“Mamiii, ibukku ini kok
makin lama makin brengsek ya?”
“Mbak, Papaku jadi nikah
lagi.”
“Mbak Diaaan, aku mau
bunuh diri sekarang juga!”
Bahkan pada suatu
kesempatan, seorang anggota komunitas HAMUR tiba – tiba datang ke kos saya
sambil berteriak – teriak “Mommyyy!!! Mommyyyy!!!”. Lantas saat saya keluar
gerbang, dia berhambur menangis sesenggukan di pundak saya. Kepedihannya bisa
saya rasakan karena malam sebelum bertandang ke kos, dia bercerita tentang ayah
kandungnya yang memaki – maki dirinya sebagai anak durhaka.
Siapa yang tidak perih
hatinya? Oleh psikiater, anak ini didiagnosa mengidap ADHD dan ayah kandungnya
sendiri memakinya dengan umpatan menjijikkan! Siapa yang tidak tersentuh hatinya?
Setiap kali makan, tingkahnya seperti anak usia 5 tahun padahal dia adalah
lelaki usia 18 tahun. Sehingga setiap ada kesempatan makan dengan saya, saya
pasti mengingatkan “Dar, ayo makannya yang bener. Jangan berceceran kemana –
mana.”
Setelahnya dia selalu
menjawab “Iya, mommy...”
Dan masih banyak lagi.
Beberapa anggota terkadang
sharing ke saya terlebih dahulu, baru
membawanya ke forum. Sehingga secara tidak langsung saya mengetahui dinamika permasalahan
yang sedang mereka alami.
Baru tadi malam,
seseorang yang sejak akhir 2015 bergabung dengan HAMUR, memberikan kabar yang
bikin hati saya jumpalitan. Katanya dalam suatu chat kurang lebih, “Mbak
Dian, Papaku jadi nikah lagi besok 4 September. Dan aku sekarang sudah lumayan
nggak terlarut dalam kesedihan. Yang penting aku bisa melindungi adikku. Aku harus
ikhlas dan tabah, berusaha biasa aja dan fokus kehidupanku ke depan. Untuk
membahagiakan ibuku.”
Masya Allaah. Bergetar
hati saya membacanya. Tangisan saya meledak mengingat dia adalah seseorang yang
sangat amat labil pada awal bergabung HAMUR. Bolak balik left chat group karena
merasa insecure, bahkan sempat mengalami
disorientasi seksual. Dan semalam dengan begitu lapang dan besar hatinya dia
mengutarakan hal tersebut. Hal yang bagi orang lain akan sangat susah untuk
dilakukan bahkan diucapkan, bukan?!
Di samping menjadi wadah
bercerita yang pas, HAMUR tentu juga menjadi wadah inspirasi. Beberapa di
antara anggota HAMUR adalah seorang yang punya pamor dan prestasi gemilang. Sebutlah
Satria Triputra, Presma KM UGM 2015 yang sepak terjang kepemimpinannya tidak
diragukan lagi. Atau Irvandias Sanjaya, sepuluh besar Mahasiswa Berprestasi UGM
2016 yang pengalaman study abroad-nya
sangat luas. Atau Silva Eliana, penggagas startup COASS yang pengalaman kompetisinya
sangat menakjubkan. Ini baru beberapa orang yang saya sebutkan, belum
kesemuanya.
Saling menginspirasi dan
berbagi juga menjadi nyawa dari komunitas
HAMUR. Jika dia juga berasal dari keluarga broken
home tapi banyak prestasi, mengapa aku tidak? Bagaimana memulainya? Kurang
lebih hal itu menjadi pertanyaan dalam diri masing – masing anggota dimana bertindak
nyata adalah jawabannya. Sehingga sebagai contoh, sering kami dapati anggota
yang pada awalnya enggan berorganisasi, kini justru memegang tampuk penting
dalam suatu lembaga.
Itulah mengapa, HAMUR
juga mendesain adanya berbagai kegiatan training dan kelas inspirasi. Untuk menjadi
upaya riil dalam melakukan self
development bagi survivor broken home.
Kegiatan yang diupayakan dari, oleh dan untuk kita. HAMUR adalah komunitas
independen yang tidak bergantung pada instansi apapun. Sehingga terkait
pendanaan, kami mengupayakan secara pribadi dan wirausaha kolektif.
![]() |
Leadership Traning HAMUR, 2016 |
![]() |
Halal Bihalal, 2016 |
![]() |
HAMUR berkunjung ke panti, 2016 |
Menyelamatkan
Masa Depan
Komunitas HAMUR harus
terus dijaga dan dirawat, olehnya wajib ada regenerasi. Kini roda kepemimpinan sudah
beralih pada mereka yang lebih muda. Keanggotaan kami semakin meluas sehingga
perlu upaya yang lebih sinergis. Dalam setiap sembah sujud saya, doa untuk para
survivor broken home dan keberlanjutan HAMUR menjadi hal sakral yang saya
panjatkan. Selama Tuhan meridhoi, kami akan terus memperluas dampak positif.
Kami akan terus berkarya. Kami akan terus menguatkan survivor broken home dimanapun berada.
Diliput oleh media pers
atau mengudara di radio sudah menjadi bonus yang biasa bagi kami. Sebab bukan
untuk ‘agar diliput media atau siaran di radio’ HAMUR berdiri. Cita – cita kami
jauh lebih besar dari itu: kami saling menyelamatkan masa depan.
Saya pun berangan, lima
sampai sepuluh tahun lagi dari sekarang, kelak komunitas HAMUR juga menjadi sebuah
komunitas parenting. Sekali lagi, kebaikan harus terus dirawat dan dijaga.
Perkara kebaikan, tidak melihat identitas kamu berasal dari Fakultas apa, kamu
berasal dari suku mana, atau kamu beragama apa. Kebaikan harus disegerakan oleh
siapapun.
Link website HAMUR: www.hamurmenginspirasi.blogspot.co.id
Jakarta, 26 Agustus 2017.
-Ditulis
seusai Shalat Tahajjud dengan air mata yang bercucuran.
Terimakasih mbak dian jasamu sungguh besar. Semoga Tuhan membalas dengan pahala yang melimpah. Aamiin
BalasHapusMakasih momy dian bimbingannya selama ini. Udah banyak berjasa dan bisa percaya diri lagi. Semoga allah membalas semua kebaikanmu semua. Aamiin
BalasHapusSemoga kesuksesan selalu bersamamu mbak dian
BalasHapusBoleh minta surel yg bs dihubungi atau tempat komunitas Humar berada di lokasi mana yaaa
BalasHapus