Hari ini adalah tepat delapan hari
meninggalnya teman bercerita saya, (sebut saja) Sukma. Sampai saya menulis
kisah ini, saya masih dalam suasana berkabung yang mendalam. Tapi entah darimana
datangnya suatu kekuatan, saya tergerak untuk membagi potongan kisah Sukma yang
semoga saja bisa menjadi hikmah bagi banyak orang.
***
7 Januari 2019
Siang itu, saya yang tengah serius
menyiapkan presentasi kantor tetiba dikejutkan oleh panggilan masuk dari nomor
tak dikenal.
“Halo, apakah benar ini dengan nomor
Mbak Dian Yunita?” sapanya di seberang telepon, suara seorang laki-laki
setengah terbata.
“Maaf saya bukan Dian Yunita...”
“Temannya mbak Sukma yang di Jakarta ‘kan?”
responnya cepat.
Saya langsung tergugah dengan jawaban
cepat itu. Singkatnya kami mengobrol agak singkat. Berita yang ia sampaikan
membuat saya terpukul detik itu juga.
Sukma tengah dirawat di rumah sakit. Laki-laki
yang rupanya adik kandung Sukma menyampaikan bahwa Sukma melakukan percobaan
bunuh diri semalam. Katanya lagi, Sukma melakukan itu dengan cara yang brutal.
Sukma tertolong –sebelum akhirnya menghembuskan nafas yang terakhir- dan dirawat
di rumah sakit karena pendarahan hebat. Saya tidak akan bercerita disini brutalnya
seperti apa sebab informasi yang saya peroleh juga tidak begitu runtut.
***
Awal tahun 2018
Saya memperoleh direct message (DM) di instagram dari suatu akun yang saya kira
saat itu adalah akun bodong. Saya anggap akun bodong karena akun instagram
dikunci, tidak ada post sama sekali, followers hanya belasan, foto profil
kartun emo, dan nama akunnya… begitulah.
Dalam DM itu , dia mengenalkan diri
sebagai anak broken home yang sudah
tidak punya gairah hidup. Dirinya tidak punya teman bercerita sama sekali dan
punya pikiran bunuh diri yang berulang. Katanya, dia sempat baca blog saya yang
berbagi tentang pengalaman upaya bunuh diri saya beberapa tahun lalu. Orang
itulah, Sukma. Gadis usia 24 tahun yang kini pergi bersama rasa kecewa dan
angan-angan yang belum tertunaikan.
Sebagai informasi, sejak saya mendirikan
Komunitas Inspirasi HAMUR pada tahun 2015, saya memang cukup sering memperoleh
pesan masuk berupa curhat, pertanyaan, dan sejenisnya umumnya terkait
perceraian. Saya tidak bisa menghitung jumlahnya, yang jelas cukup banyak untuk
ukuran saya pribadi. Mulai dari teman dekat hingga orang-orang yang saya tidak
kenal sama sekali. Mulai dari anak SMP hingga guru BK suatu SMA di Luar Jawa.
Mulai dari anak sebagai penyintas hingga orang tua yang sedang gamang
memutuskan perceraian. Dan masih banyak lagi. Beberapa yang sesuai dengan
kriteria usia anggota HAMUR yakni remaja dewasa, turut bergabung dengan HAMUR.
Di saat yang bersamaan saya pada saat
itu tengah berjuang menyembuhkan diri dari Post
Traumatic Stress Disorder yang saya alami. Saat itu saya putuskan bahwa
segala curhatan atau hal serupa yang saya terima, saya gunakan sebagai momen self-healing. Sebelumnya saya khawatir
jika semakin sering terpapar dengan curhatan yang mengandung emosi negatif
justru memperparah kondisi saya. Namun setelah saya berkonsultasi dengan
psikolog dan memperoleh banyak input terkait afirmasi positif dan aktualisasi
diri, saya pun coba menikmatinya. Menikmati momen menjadi pendengar yang baik bagi
orang-orang yang perlu “ditolong”.
Lambat laun menjadi hal yang biasa
bagi saya menerima curhatan dari seorang yang melakukan self-harm karena tengah depresi, curhatan tentang bully, tentang ibu yang bingung mengapa anaknya
bersikap aneh sejak dia dan suami bercerai, dan masih banyak lagi. Sehari
barangkali saya bisa menerima tiga sampai empat curhatan dari orang yang
berbeda-beda. Semua cerita dari banyak orang yang dibagikan pada saya sifatnya
sangat rahasia. Bahkan sampai saat ini saya sudah menikah pun, saya masih
menerima curhatan (meski tidak seintens sebelum menikah) dan tidak pernah
membagikan cerita atau curhatan siapapun pada suami saya. Saya meyakini bahwa
bagi sebagian orang tidak mudah menemukan teman bercerita yang pas. Jadi ketika
saya menjadi tempat curahan hati bagi seseorang, saya harus mengapresiasinya
dengan salah satu caranya menjaga
kerahasiaan cerita.
Beberapa dari pembaca mungkin ada
yang was-was sendiri, gimana dong kalau ternyata yang kontak saya adalah orang
jahat? Pertama-tama, saya luruskan niat untuk membantu sesama sehingga kalau
pun itu orang jahat, Insya Allah, Allah tidak akan biarkan itu terjadi. Kedua,
jika memang yang bersangkutan ada niatan jahat, saya juga nggak bodo-bodo amat
untuk mengidentifikasi suatu maksud buruk tertentu yang bisa saya limpahkan ke
kepolisian. Terlebih saat ini kepolisian kita sangat responsif dengan tindak
kejahatan siber. Namun puji syukur selama ini semua yang menghubungi saya
adalah orang-orang baik yang memang perlu untuk “ditolong”.
Kembali ke Sukma…
Sukma adalah salah satu dari sekian
banyak orang yang secara random menghubungi saya dan kemudian curhat. Setelah
obrolan di instagram, kami meneruskan obrolan lebih dalam dan instens di Line messenger.
Kami pun jadi akrab setelah beberapa kali Sukma menelefon saya dan membagi
kegelisahannya saat itu. Tidak hanya Sukma, saya juga punya beberapa teman yang
berawal curhat secara random dengan saya kemudian menjadi sangat akrab dengan saya
meski belum pernah bertemu.
Sukma pernah bercerita bahwa dirinya
dulu adalah anak yang rajin dan periang. Namun semenjak kematian ibunya, yang
membuat beberapa sikap ayahnya berubah, semenjak itulah Sukma menjadi pribadi
yang acuh. Salah satu yang dialami Sukma adalah krisis kepercayaan baik pada
dirinya sendiri dan orang lain. Sukma mengklaim dirinya saat ini adalah anak
nakal. Sejak itu juga Sukma seperti dijauhi oleh beberapa teman. Waktu
berjalan, Sukma terus memendam segala kecamuknya sendirian. Hingga kemudian hal
tersebut barangkali justru menjadi bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu.
***
Pertengahan tahun 2018
Saat itu Sukma tengah dalam tahap wawancara
suatu pekerjaan di Jakarta dan akhirnya kami coba atur waktu bertemu. Sepanjang
obrolan, Sukma yang lebih banyak mendominasi percakapan. Saya sangat
mengapresiasinya sebab saya menangkap gesture
Sukma yang nyaman berbagi dengan saya.
Saya masih ingat betul Sukma sempat
berkelakar, “Dian, aku masukin nomor HP kamu ke daftar nomor telefon gawat
daruratku ya. Tenang, bukan buat ngutang
kok. Hahahaha. ”
Secara garis besar hal yang saya
ketahui dari Sukma adalah Sukma banyak memendam masalah pribadinya, sulit
menemukan orang yang tepat untuk bercerita, dan pada akhirnya melakukan
pelampiasan tertentu seperti self-harm
dan mengonsumsi alkohol. Sukma pun sebenarnya menyadari hal tersebut tidak baik
baginya. Tapi katanya saat itu, “Sementara aku pengen begini.”
Dua minggu berselang dari pertemuan
di Jakarta, Sukma mengabari saya bahwa dirinya tidak lolos rekrutmen kerja.
“Kayanya aku emang nggak pas kerja
kantoran deh. Bagusnya jadi babu.” celotehnya kurang lebih saat kami
bertelefon.
Untuk menyambung hidup, Sukma
melakukan banyak pekerjaan. Mulai dari jadi baby
sitter paruh waktu, hingga part time
di beberapa restoran cepat saji di kotanya. Kegagalannya beberapa kali dalam
tes pekerjaan menjadi salah satu hal yang menurut saya semakin memperparah mentalitasnya.
Bolak-balik dia menyalahkan keadaan keluarga seperti andai dia lanjut kuliah,
andai ayahnya memperhatikan keluarga, dan masih banyak lain. Ujungnya jika
sudah seperti itu Sukma melakukan pelampiasan lagi.
Saya sempat menyarankan Sukma untuk
coba datang ke psikolog, tapi dielaknya mentah-mentah. Sekali dia mengelak,
saya tidak coba menyarankan hal yang sama lagi. Pikir saya, semua ada waktunya.
***
![]() |
Ilustrasi. Sumber: https://www.nbcdfw.com |
Pertengahan Desember 2018
Saat itu saya sedang dalam masa-masa hectic pulang kampung ke Jogja. Karena
ada beberapa hal yang perlu saya kerjakan dengan suami maka saya cenderung
minim mengakses HP. Sampai pada suatu pagi saya temukan dua kali missed calls di Line messenger dari Sukma.
Terakhir kami berkomunikasi sebelum missed
calls tersebut awal November 2018. Saya pun coba kirim feedback pada Sukma dan menanyakan keadaannya. Sukma hanya merespon
singkat bahwa dirinya tidak dalam masalah, hanya ingin telefon. Lantas saat
pergantian tahun saya mengiriminya ucapan tahun baru. Pesan itu yang belum
dibaca hingga saat ini.
***
8 Januari 2019
Malam hari, saya mendapatkan SMS dari
adik Sukma yang mengabari bahwa Sukma telah berpulang selamanya. Spontan saya
histeris. Lambat laun tersedu.
Saya coba buka lagi percakapan kami
di Line messenger dengan penuh rasa bersalah. Apakah ini ada kaitannya dengan
dua missed calls? Jangan-jangan saat
itu Sukma memang sedang butuh teman bercerita dan saya tidak sengaja
mengabaikannya?
Hati saya kalut bukan main. Saya
putuskan beberapa hari untuk tidak mengakses Line messenger karena sedikit
trauma. Kebetulan saya dan Sukma lebih sering bercakap di Line messenger.
Hari-hari sejak kepergian Sukma berlalu,
sebenarnya saya masih memiliki rasa penasaran atas apa yang sebenarnya Sukma alami.
Kabar terakhir dari Sukma sendiri yang berujar bahwa dirinya dalam kondisi
baik-baik saja. Tapi saya tentunya tidak bisa memastikan hal tersebut sebab
kami tidak sehari-hari bertemu secara fisik, kami pun terbentang jarak di dua
provinsi berbeda, sedangkan hidup selalu terus berdinamika.
Satu hal yang baru saja saya tahu
dari adik Sukma bahwa ternyata Sukma pernah meminta adiknya untuk membuka buku
agenda yang Sukma tinggalkan di kamar sewaktu-waktu jika Sukma tidak pulang ke
rumah lebih dari tiga hari atau ketika Sukma dalam keadaan darurat. Dalam
beberapa halaman buku agenda itu diketahui berisi daftar nomor telefon gawat
darurat. Pada buku tersebut tercantum nomor saya dalam salah satu daftar teman
dekatnya.
Jakarta, 15 Januari 2019
Komentar
Posting Komentar